Beranda | Artikel
Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (Bag. 3)
Sabtu, 23 Agustus 2008

Baca pembahasan sebelumnya: Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (Bag. 2)

Bimbingan Puasa dari Rosululloh

Jangan Mendahului Puasa Romadhon Dengan Puasa

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Romadhon dengan berpuasa sehari atau 2 hari, kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka boleh berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1914, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1082, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2335, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 685, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1650, Ad Daarimi dalam kitab Shoum, dan Ahmad dalam Musnad-nya II/234, 347, 408, 477, 513, 521)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Nabi melarang kita mendahului Romadhon dengan mengerjakan puasa sehari atau dua hari sebelumnya.
  2. Nabi memberikan keringanan bagi orang yang sudah terbiasa mengerjakan puasa sunnah seperti Puasa Senin-Kamis untuk mengerjakan puasa pada hari-hari itu.
  3. Salah satu hikmah pelarangan ini –Wallohu a’lam– adalah untuk membedakan antara ibadah wajib dengan sunnah, dan supaya dapat mempersiapkan diri menyambut Romadhon dengan penuh semangat dan pengharapan. (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal/ 353).

Berpuasa Karena Melihat Hilal

Dari Abdulloh bin ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian telah melihatnya (hilal Romadhon) maka berpuasalah (esok harinya) dan jika kalian telah melihatnya (hilal Syawwal) maka berharirayalah (esok harinya) tapi jika tertutup dari pandangan kalian maka kira-kirakanlah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1906, Muslim dalam Shiyaam VIII, 1080, Malik dalam Al Muwaththo’ I/286 dalam kitab Shiyaam, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/134, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/3, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1654)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Pelaksanaan puasa Romadhon tergantung pada tampaknya hilal bagi seluruh ummat atau sebagiannya.
  2. Perayaan Idul Fithri juga tergantung pada tampaknya hilal.
  3. Apabila hilal Romadhon tidak tampak maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Begitupula apabila hilal Syawwal tidak tampak maka bulan Romadhon digenapkan menjadi 30 hari.
  4. Apabila pada malam 30 Sya’ban langit tertutup mendung atau asap maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.
  5. Tidak boleh berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban karena adanya mendung atau semacamnya yang menutupi langit pada malam hari sebelumnya (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 356-357).

Jumlah Saksi yang Melihat Hilal untuk Menetapkan Masuknya Bulan Romadhon

Masuknya bulan Romadhon ditetapkan minimal dengan persaksian satu orang yang adil/muslim terpercaya, atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari jika hilal tidak bisa dilihat karena langit tertutup mendung dan semacamnya. Ibnu ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma mengatakan, “Dahulu orang-orang berusaha melihat hilal, kemudian aku kabarkan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kalau aku benar-benar telah melihatnya, maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa sebagaimana beliau.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan Al Albani dalam Al Irwa’ 908)

Sedangkan untuk masuknya bulan Syawwal (Idul Fithri) maka minimal dua orang saksi berdasarkan keumuman hadits, “Apabila ada dua orang saksi muslim yang melihat hilal maka berpuasa dan berharirayalah.” (Hadits riwayat Ahmad, An Nasaa’i) (lihat Al Wajiz hal. 190-191).

Bagaimana Dengan Hisab ?

Adapun menentukan awal masuknya bulan puasa dengan hisab saja, Syaikh Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Adapun sekedar menggunakan hisab maka hal itu tidak boleh dilakukan dan juga tidak boleh dijadikan pegangan.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam, hal. 27-28).

Jadi pelaksanaan puasa di bulan Romadhon itu tergantung pada nampaknya hilal bagi kaum muslimin atau sebagian dari mereka, Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied menentang orang yang mengaitkan hukum tersebut dengan hisab ahli perbintangan/astronomi. Ash-Shon’ani menjelaskan bahwa seandainya penentuannya bergantung pada hisab mereka niscaya hal itu tidak dipahami kecuali oleh sedikit orang, sedangkan aturan syari’at itu dibangun di atas prinsip yang bisa dipahami oleh banyak orang (Taisirul ‘Allaam juz I, hlm. 356).

Mengapa Menggunakan Hisab ?

Sebagian orang menafsirkan sabda Nabi “…maka kira-kirakanlah” di atas artinya boleh menggunakan ilmu hisab perbintangan. Akan tetapi penafsiran seperti ini bertentangan dengan hadits. Sebab dalam riwayat lain dijelaskan bahwa jika hilal tidak nampak maka hendaknya Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Inilah yang dimaksud dengan mengira-irakan, sebab hadits itu saling memperjelas satu sama lain. Imam Ash Shon’ani mengatakan: Jumhur/mayoritas ahli fiqih dan ahli hadits berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ‘kira-kirakanlah’ adalah dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana ditafsirkan oleh hadits lain (Taisirul ‘Allaam juz I, hlm. 357).

Orang yang Wajib Berpuasa

Para ulama sepakat bahwasanya puasa Romadhon itu diwajibkan atas setiap muslim yang berakal dan telah baligh yang berada dalam keadaan sehat dan mukim, dan wajib bagi kaum wanita yang berada dalam keadaan suci dari haidh dan nifas (Fiqhus Sunnah I/506).

Orang yang tidak berakal dan belum baligh tidak terbebani kewajiban ini karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Penulisan pena diangkat dari tiga golongan: dari orang gila hingga dia sembuh, dari orang yang tidur hingga dia terjaga, dan dari anak kecil hingga dia ihtilam/mimpi basah.” (Hadits riwayat At Tirmidzi, Shohih Jami’ush Shoghiir no. 3514)

Adapun tidak wajibnya orang yang sedang sakit atau bepergian berdasarkan firman Alloh Ta’ala, “Maka barangsiapa diantara kalian yang sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu berbuka) hendaklah dia menggantinya di hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh: 184)

Jika seorang yang sakit atau bersafar mengerjakan puasa maka puasa mereka tetap sah, karena kebolehan untuk berbuka bagi mereka adalah keringanan/rukhshoh, seandainya mereka mengambil ‘aziimah (bukan rukhshoh) maka itu baik. Apabila orang yang sakit atau musafir tidak mendapatkan kesulitan dengan tetap mengerjakan puasa maka yang lebih utama baginya adalah berpuasa, sedangkan jika mereka justru tertimpa kesulitan karenanya maka berbuka itu lebih utama. Adapun bagi orang yang sudah tua renta atau orang yang sakitnya sulit sekali diharapkan kesembuhannya maka dia boleh tidak berpuasa dengan ketentuan harus memberi makan satu orang miskin di setiap hari yang ditinggalkannya. Begitu pula apabila ada ibu hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan keadaan anaknya apabila dia berpuasa atau karena tidak sanggup maka mereka wajib membayar fidyah yaitu dengan memberi makan kepada satu orang miskin di setiap hari yang ditinggalkannya, dan mereka tidak perlu mengqodho’/mengganti puasa di hari yang lain (lihat Al Wajiz hal. 192-193).

Memasuki Waktu Shubuh Dalam Keadaan Junub

Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anhuma: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki waktu fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1926, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1109, Malik dalam Al Muwaththo’ I/291, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 779, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam I/108)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Sahnya puasa orang yang memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena berjima’ di malam harinya.
  2. Hukum memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena mimpi basah diqiyaskan dengan jima’ dengan cara qiyas aulawi (kalau karena jima’ saja boleh maka karena mimpi basah tentu lebih boleh lagi -pent), karena jika orang yang dalam keadaan bisa memilih (antara melakukan jima’ atau tidak -pent) mendapat keringanan tentunya yang selainnya (yaitu yang tidak bisa memilih antara mimpi basah dengan tidak -pent) lebih pantas untuk diperbolehkan.
  3. Tidak ada perbedaan berlakunya ketentuan ini baik pada puasa wajib maupun sunnah, baik Romadhon maupun selainnya.
  4. Bolehnya berhubungan suami isteri pada malam-malam bulan Romadhon meskipun di saat-saat menjelang terbitnya fajar.
  5. Keutamaan isteri-isteri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan kebaikan mereka terhadap ummat ini tatkala mereka menyampaikan begitu banyak ilmu yang bermanfaat, termasuk dalam masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang di kalangan sahabat di masa itu, semoga Alloh meridhoi mereka (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 360)

Makan Sahur dan Keutamaannya

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu’anhu beliau berkata: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat barokah.`” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1923, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1095, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 708, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/141, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/6, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1692)

Faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Disunnahkannya makan sahur dan menjalankannya merupakan bentuk pelaksanaan perintah syari’at.
  2. Karena pada makan sahur terdapat barokah maka tidak sepantasnya hal itu ditinggalkan. Barokah ini muncul baik pada perbuatan makannya dan juga pada makanan yang dimakan. Karena ungkapan makan sahur (dalam bahasa Arab di hadits ini) bisa dibaca sahuur (artinya makanan yang disantap) atau suhuur (perbuatan memakan makanan).
  3. Zhohir perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum wajibnya sahur, akan tetapi karena ada riwayat yang sah bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan wishol (tidak berbuka dan tidak makan sahur -pent) maka perintah ini berubah hukumnya menjadi sunnah/mustahab untuk dikerjakan (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 357-358).

Disunnahkan Mengakhirkan Santap Sahur

Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Kami bersantap sahur bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau beranjak untuk menegakkan sholat. Anas berkata: Aku bertanya kepada Zaid, “Berapakah jarak antara adzan dan santap sahur ?” Dia menjawab, “Sekitar seukuran bacaan 50 ayat.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1921, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1097, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 703, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/143, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/6, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam 1694)

Yang dimaksud adzan dalam hadits ini adalah dikumandangkannya iqomah (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 359).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Keutamaan mengakhirkan santap sahur hingga mendekati terbitnya fajar/masuk waktu shubuh.
  2. Bersegera mengerjakan sholat Shubuh sehingga jaraknya dengan waktu mulainya puasa menjadi dekat.
  3. Waktu imsak/menahan diri dari makan dan minum adalah terbitnya fajar, sebagaimana yang difirmankan Alloh Ta’ala, “Makan dan minumlah sampai jelas bagimu perbedaan antara benang hitam (gelapnya malam) dengan benang putih yaitu terbitnya fajar.” (QS. Al Baqoroh: 187)

Berdasarkan hadits ini maka kita dapat mengetahui bahwasanya apa yang diada-adakan oleh sebagian orang berupa pembedaan waktu imsak dan waktu terbit fajar merupakan sebuah kebid’ahan yang sama sekali tidak ada landasannya dari ajaran Alloh, akan tetapi itu hanyalah bisikan syaithan agar agama mereka menjadi tersamar, padahal sesungguhnya ajaran Nabi Muhammad menegaskan bahwa imsak/menahan diri dari makan dan minum serta pembatal puasa yang lain itu berlaku ketika permulaan terbitnya fajar/masuk waktu shubuh (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 359).

Disunnahkan Menyegerakan Berbuka

Dari Sahl bin Sa’d As Saa’idi rodhiyallohu ‘anhu: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan santap sahur.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1957, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1098, Maalik dalam Al Muwaththo’ I/289 di kitab Shiyaam, At Tirmidzi dalam kitab Shiyaam no. 699, Ad Daarimi II/7 dalam kitab Shoum, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1697, Ahmad dalam Musnad-nya V/330, 334, 336, 337, 339. Mereka semua meriwayatkan hadits ini sampai perkataan “Selama mereka menyegerakan berbuka” adapun kata-kata, “dan mengakhirkan santap sahur” (dalam rangkaian hadits ini) adalah tambahan yang ada pada riwayat Imam Ahmad saja di dalam Musnad beliau V/147,172 berasal dari hadits Abu Dzar Al Ghifaari rodhiyallohu ‘anhu dan sanadnya lemah (catatan kaki Taisirul ‘Allaam juz I hal. 382).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Disunnahkannya menyegerakan berbuka apabila terbenamnya matahari sudah benar-benar terjadi baik dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan berita orang yang terpercaya.
  2. Disegerakannya berbuka merupakan tanda tetap berada dalam keadaan baik bagi orang yang menyegerakannya sedangkan mengakhirkannya merupakan tanda hilangnya kebaikan.
  3. Kebaikan yang disinggung dalam hadits ini adalah mengikuti sunnah (ajaran Nabi), meskipun hal itu (makan/berbuka) termasuk perkara yang disenangi oleh nafsu.
  4. Hadits ini termasuk mu’jizat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam (karena beliau mengabarkan tentang sesuatu yang ghoib-pent). Sesungguhnya perbuatan mengakhirkan berbuka merupakan salah satu amalan kaum syi’ah; salah satu sekte yang menyimpang. Dan mereka itu tidak punya panutan dalam masalah ini kecuali kaum Yahudi yang baru berbuka apabila bintang-bintang telah nampak (yaitu di waktu malam-pent). (Lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 382).

Saat Untuk Berbuka

Dari Umar bin Al Khoththob rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Apabila malam sudah datang dari arah sini (barat) dan apabila siang telah pergi ke arah situ (timur), maka orang yang berpuasa telah berbuka.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1954, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1100, dan Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2351)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Disunnahkannya menyegerakan berbuka apabila matahari sudah benar-benar tenggelam.
  2. Keberadaan datangnya malam yang diiringi dengan perginya siang itulah yang menjadi syarat bolehnya berbuka. Karena sesungguhnya munculnya kegelapan di arah timur sementara matahari masih nampak bukan berarti malam sudah tiba, sebab datangnya malam yang sesungguhnya itu baru terjadi beriringan dengan perginya siang (tenggelamnya matahari-pent) maka 2 peristiwa ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
  3. Dalam sabda Nabi, “Maka orang yang berpuasa telah berbuka” terdapat kemungkinan dua makna:a. Secara hukum dia sudah dianggap berbuka dengan masuknya waktu itu meskipun belum mengkonsumsi makanan, sehingga dorongan menyegerakan berbuka yang terdapat dalam beberapa hadits menjadi bermakna anjuran untuk melakukan berbuka secara inderawi agar cocok dengan makna syar’inya.b. Masuk waktu untuk berbuka, sehingga anjuran untuk menyegerakan berbuka bermakna anjuran melakukannya di awal waktu masuknya, dan makna ini lebih tepat. Ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Al Bukhori yang menyebutkan, “Maka sudah boleh untuk berbuka.”
  4. Berdasarkan dua makna ini maka hukum wishol (tidak berbuka dan tidak sahur -pent) sebagai berikut:a. Jika kami berpendapat bahwa makna “Maka orang yang berpuasa telah berbuka” adalah dia dihukumi telah berbuka maka wishol adalah amalan yang batil karena wishol tidak mungkin dilakukan.b. Jika kami berpendapat bahwa makna “Maka orang yang berpuasa telah berbuka” adalah telah masuk waktu berbuka maka hukum mengerjakan wishol adalah makruh mengingat adanya dalil-dalil yang melarang wishol. (Lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 383).

Makan dan Minum Karena Lupa

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang terlupa dalam keadaan puasa kemudian dia makan atau minum hendaklah disempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Alloh lah yang memberikan makan dan meminuminya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1923, dalam kitab Al Aimaan wan Nudzuur no. 6669, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1155, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/13, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1683)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Sahnya puasa orang yang makan atau minum atau jima’ (di siang hari) karena lupa. Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Daud dan Ibnu Taimiyah berpendapat orang yang berjima’ karena lupa maka puasanya tetap sah. Sedangkan Imam Ahmad dan para pengikutnya berpendapat puasanya tidak sah. Pendapat pertama (puasanya tetap sah) lebih kuat berdasarkan hadits dari Abu Huroiroh bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa yang membatalkan puasa karena lupa maka tidak perlu qodho’ dan tidak perlu membayar kafaroh.” (Hadits riwayat Al Haakim) Ibnu Hajar berkata: Hadits ini shohih. Dan membatalkan puasa (ifthor) bersifat umum mencakup jima’ dan selainnya.
  2. Tidak ada dosa baginya karena makan dan minumnya sebab dia tidak memiliki kemampuan memilih ketika itu.
  3. Makna sabda Nabi sesungguhnya Alloh lah yang memberikan makan dan meminuminya adalah peristiwa itu terjadi bukan karena pilihan/ikhtiyar, dan itu terjadi karena Alloh mentakdirkannya dengan sebab dia lupa akan puasa yang sedang dijalaninya (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 361-362, dengan perubahan).

Terlanjur Berjima’ Dengan Sengaja

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Suatu saat kami duduk-duduk bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba seorang lelaki datang menemui beliau lalu mengatakan, “Wahai Rosululloh binasalah hamba.” Beliau berkata, “Apa yang membuatmu binasa ?” atau beliau berkata “Apa yang terjadi padamu ?” Lelaki tadi berkata, “Aku telah berhubungan dengan isteriku padahal aku dalam keadaan berpuasa.” dalam suatu riwayat “Aku telah menggauli isteriku di bulan Romadhon.” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki budak untuk dimerdekakan ?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah engkau memiliki makanan untuk memberi makan 60 orang miskin ?” Dia menjawab, “Tidak.” Abu Huroiroh berkata, “Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam terdiam.” Dalam situasi seperti itu Nabi pun mengambil keranjang berisi kurma. Kemudian beliau berkata, “Dimanakah orang yang bertanya tadi ?” Diapun menjawab, “Saya.” Nabi bersabda, “Ambillah keranjang ini dan bersedekahlah dengannya.” Lelaki itu lalu bertanya, “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada saya wahai Rosululloh ? Demi Alloh, tidak ada satu keluargapun yang tinggal di antara dua batas kota (Madinah) ini yang lebih miskin daripada keluarga saya.” Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga nampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda, “Kalau begitu berilah makan keluargamu dengannya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1936, kitab Hibah no. 2600, kitab Nafaqoot no. 5368, kitab Adab no. 6087, kitab Kafarotul Aimaan no. 6709, 6710, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1111, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2390, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/11, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 724, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1671, Ahmad dalam Musnad-nya II/241, 516)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Berjima’ pada siang hari di bulan Romadhon termasuk perbuatan dosa yang membinasakan, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mendiamkan perkataan si penanya “Binasalah hamba” seandainya perkaranya tidak seberat itu niscaya beliau akan memberikan keringanan pada perkara itu.
  2. Orang yang berjima’ dengan sengaja wajib membayar kafaroh yang ditentukan secara urut ; memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan kepada 60 orang miskin.
  3. Kafaroh tetap tidak gugur meskipun keadaan si pelanggar dalam kesulitan, karena Nabi tidak menggugurkan kafaroh akibat kemiskinannya, dan hadits ini sama sekali tidak mengandung pengguguran kafaroh.
  4. Bolehnya orang lain membayarkan kafaroh meskipun dia adalah orang asing/tidak memiliki hubungan mahram.
  5. Boleh baginya (si pelanggar) makan dari sedekah tersebut dan memberi makan dengannya kepada keluarganya selama sedekah itu dikeluarkan oleh orang lain.
  6. Zhohir hadits menunjukkan bahwasanya tidak ada pembedaan budak yang dimerdekakan apakah muslim atau kafir, inilah yang dipegang oleh para pengikut Imam Abu Hanifah. Akan tetapi yang benar adalah pendapat jumhur yang mengharuskan budak tersebut mukmin, hadits ini ditaqyid dengan nash-nash lain yang menyebutkan kafaroh pembunuhan, karena di dalamnya disebutkan budak yang beriman.
  7. Kebagusan akhlaq Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan kemurahan beliau dimana kedatangan lelaki ini dalam keadaan bergetar ketakutan kemudian pulang dalam keadaan gembira dengan membawa makanan untuk keluarganya.
  8. Barangsiapa yang bergelimang dengan kemaksiatan yang banyak sekali kemudian datang dengan bertaubat dan penuh penyesalan maka dia tidak menanggung dosa (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 365-366 dengan sedikit perubahan).

bersambung ke Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (Bag. 4)

***

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/317-puasa-menahan-diri-demi-menggapai-ridho-illahi-3.html